-------
Jumat, 16 September 2011
ASAL MULA TERBENTUKNYA GENG DI BANDUNG
08.40 |
Diposting oleh
nanank |
Edit Entri
ASAL MULA TERBENTUKNYA GENG DI BANDUNG
Oleh Mulyani Hasan
Oleh Mulyani Hasan
Mulanya
kumpul-kumpul sesama pecinta motor, kemudian berubah jadi geng yang
beranggotakan puluhan bahkan ratusan orang. Di jalanan, mereka membentuk
gaya
hidup yang terkadang menyimpang dari kelaziman demi menancapkan
identitas kelompok. Ngetrack, kebut-kebutan, dan tawuran adalah upaya
dalam pencarian identitas itu.
KAWASAN
Cilaki, Bandung, suatu sore. Matahari mulai menepi. Tak seluruh
siluetnya jatuh ke jalanan. Kerimbunan pepohonan menghalanginya. Dalam
teduh, tiga remaja terlihat sedang duduk-duduk. Mereka pelajar sekolah
menengah atas yang sedang membunuh waktu, menunggu tibanya jadwal
bimbingan belajar.
Dari
kejauhan, sepeda-sepeda motor menderu-deru. Jumlahnya belasan. Mereka
jalan beriringan. Pedalnya dibuat meraung-raung, walau kecepatannya tak
lebih kencang dari pembalap paling bego sekalipun.
Mereka
melintasi tiga pelajar itu. Mereka, seperti tiga pelajar itu, semuanya
berseragam putih abu. Tapi kedua kelompok jelas dari sekolah yang
berbeda, dan mungkin tak saling kenal. Sebagian pengendara
menyembunyikan seragam putih-abu itu di dalam jaketnya.
Tepat
di depan ketiga pelajar, salah satu pengendara motor terjatuh, seperti
disengaja. Sontak saja teman-temannya melimpahkan kesalahan kepada tiga
pelajar itu. “Maneh budak mana, tong macem-macem ka aing,” bentak salah
satu pengendara motor itu. (Kamu anak mana, jangan macam-macam. )
Tiga
pelajar tadi tak merespon. Merasa di atas angin, para pengendara itu
melampiaskan kebinatangannya. Salah seorang mulai memukul. Dan ketika
ketiga pelajar itu tak menunjukkan perlawanan, yang lain makin berani
dan mulai ikut memukul. Adegan selanjutnya sudah bisa diduga,
pengeroyokan tanpa alasan berlangsung dalam waktu cepat. Dua di antara
tiga pelajar itu babak belur.
Antoni Adi Krisna, salah satu pelajar dari SMUN 9 Bandung , dipukuli bertubi-tubi. Darah segar mengalir dari hidungnya. Pelajar
lainnya dari sekolah yang sama, Muri Nugraha, dipaksa untuk menyerahkan
barang berharga. Dompet pun melayang. Seorang lagi, Rizal Satria
pelajar SMUN 2 Bandung, selamat dari aniaya itu. Ia mengambil langkah
seribu.
Usai beraksi,
geng tadi berlalu. Seorang pengendara tak lupa berseru dengan pongah
“Aing raja jalanan tong macem-macem ka aing.” (Aku raja jalanan, jangan
macam-macam) .
Suara knalpot memecah telinga, kemudian sunyi.
“Saya
dan pedagang lain melihat kejadian itu, tapi tidak satupun di antara
kami yang berani melawan mereka. Jumlahnya terlalu banyak,” Maryati,
pemilik kios itu mengatakan kepada saya
Menurut
Rita pengelola Daniel Bimbingan Belajar, Antoni Adi Krisna mengalami
shock dan tidak ingin ditemui oleh wartawan. Demikian juga dengan orang
tuanya yang tak ingin anak-anaknya terus terusan dijadikan bahan
pemberitaan. “Ini tempat bimbingan belajar, jadi kami sangat menghormati
pripasi pengguna jasa kami,” ujar Rita ketika saya meminta bertemu
degan Antoni.
ADA
masa-masa tak aman di jalanan Bandung. Geng motor, beranggotakan
beberapa orang atau puluhan hingga ratusan, tak jarang bikin cemas.
Ajun
Komisaris Besar Polisi Masyudi, Kepala Polisi Resort Bandung Tengah,
termasuk yang jengkel atas perilaku mereka. Ia mengancam akan melarang
keberadaan geng motor.
Bisa
dipahami kalau Masyudi jengkel. Soalnya, menurut Inspektur Polisi Wadi
Sa’bani, Kepala Unit Reserse Kriminal Polisi Sektor Bandung Tengah,
kasus-kasus kriminal yang melibatkan geng sepeda motor belakangan ini
menunjukkan kecenderungan meningkat.
Dalam
satu tahun terakhir saja, kata dia, terjadi dua kasus setiap minggunya.
Jumlah ini belum termasuk pengaduan dari masyarakat. Jenis kejahatannya
beragam, mulai pencurian, tawuran, perampokan dengan kekerasan dan
pengrusakan tempat umum.
“Dikota lain, aksi brutal para gengster tidak separah di Bandung, bahkan mungkin tidak ada,”ujarnya, menerka-nerka.
Sa’bani
yang saya temui di kantornya mengungkapkan perilaku mereka didasari
motif yang tak jelas. Bahkan, bukan sekadar kebutuhan ekonomi. Faktanya,
banyak dari mereka berasal dari keluarga mampu. “Ada semacam kepuasan
jika melakukan aksi melanggar hukum.”
“Kebanyakan dari mereka yang tercatat di kepolisian adalah anggota kelompok XTC.”
Menurut Sa’bani, di antara mereka tak sedikit residivis dalam kasus pencurian kendaraan bermotor.
Ada
catatan buat si residivis itu. Salah satunya menimpa perempuan muda
bernama Furwanti, 18 tahun. Tengah malam ia lewat di Jalan Laswi. Tiga
motor dengan enam orang pengendara, melaju pelan di hadapan Furyanti.
Plat
nomor motor mereka ditutupi plastik. Satu dari mereka memepet Furyani
dan menempelkan sebilah golok di samping leher Furwanti. Hanya perlu
sedikit gerakan untuk menyobek leher itu. Furwanti terkesima dan
berhenti.
Dengan
sewenang-wenang mereka merampas helm dan kunci kontak, lalu kabur
dengan kecepatan tinggi. Belum habis teriakan Furwanti, beberapa polisi
mendekati Furwanti kemudian langsung mengejar mereka. Nampaknya polisi
telah mengintai mereka dari jauh.
Polisi hanya berhasil menangkap dua tersangka pelaku. Empat orang lainnya lolos.
KECENDERUNGAN
perilaku mereka mengarah ke kriminal setidaknya telah berlangsung sejak
tahun 1990-an lalu, tak lama setelah arena balapan di jalanan di
Bandung dijaga ketat aparat kepolisian. Jalanan yang sering digunakan untuk kebut-kebutan antara lain kawasan Gasibu di Jalan Diponegoro, kawasan Dago dan Jalan Supratman.
Arena
kebut-kebutan tak lagi terlokalisasi. Mereka menyebar secara sporadis
ke jalanan lain yang lolos dari pindaian polisi. Jalanan membawa hawa
panas rupanya. Mereka tak sekadar kebut-kebutan, tapi juga tawuran.
Pada
1995, tiga pemuda dikerangkeng di balik penjara, karena terbukti
bersalah dalam kasus tawuran antara geng Brigez dengan Binter Mercy.
Satu orang anggota Binter Mercy tewas.
Saya
berkunjung ke rumah Ilmanul salah satu anggota Brigez yang dinyatakan
bersalah oleh pengadilan. Saya mendapat sambutan hangat darinya. “Saat
itu saya tidak tahu ada orang yang terbunuh, saya baru tahu dari koran
keesokan harinya,” ujar Ilmanul meceritakan kepada saya.
“Dalam
tawuran, kita tidak peduli berapa korban yang terluka atau yang
terbunuh, yang penting saat itu bagaimana menyelamatkan diri dan
teman-teman,” tambahnya.
Ilmanul dihukum dua tahun
penjara, sedangkan dua orang temannya masing-masing dihukum tiga tahun
dan 2,5 tahun penjara. “Waktu itu memang kami bersalah,
menggesek-gesekan samurai di depan mereka,” kata Ilmanul.
Yopi, anggota
GBR, mengisahkan tragedi paling mengerikan dalam hidupnya pada tahun
1998, ketika terjadi perang besar-besaran antara GBR dengan XTC yang
melibatkan ratusan anggota geng motor di kawasan Dago. Lima orang
meninggal dalam tragedi itu. Mereka mengenangnya dalam ungkapan “Dago
Menangis.”
Yopi lulusan Universitas Pasundan Bandung tengah mendirikan lembaga konsultan dalam bidang pangan. Ia memutuskan untuk tidak lagi ikut dalam kegiatan geng motor.
“Teman saya banyak yang meninggal, akibat tawuran dan OD (Over Dosis-red),”ungkapny a.
Wendy
Prananda, juga anggota GBR, menyaksikan temannya sendiri kehilangan
salah satu telinganya akibat dipotong lawan tawurannya. Tapi
peristiwa-peristiwa itu tidak menjadi alasan untuk jera. Wendy menyukai
dunia broadcast. Ia menjadi juru kamera di salah satu televisi lokal di
Bandung. “Kami seperti keluarga, meski saya sudah jarang gabung, tapi
soal kesetiakawanan gak pernah luntur,” kata Wendy ketika saya
menemuinya di kantornya.
Tahun
itu seolah menjadi titik klimaks aksi brutal mereka. Pertemuan antar
geng sering jadi saat yang paling rawan gesekan. Nyawa berguguran dan
melahirkan dendam tak berujung.
Samurai,
jenis golok berukuran panjang yang biasa digunakan oleh kelompok Ninja
di Jepang, menjadi senjata khas mereka. Tidak hanya saat tawuran,
senjata ini biasa dipamerkan pada saat konvoi. Samurai dilepas dan ujung
runcingnya digesekkan ke jalanan hingga memercikan cahaya api.
Senjata
lainnya yang biasa digunakan yakni golok, stik soft ball, bom molotof
bahkan senjata api jenis pistol. Tidak tahu pasti siapa yang menggunakan
senjata api, namun dari penuturan sebagian anggota geng yang saya
temui, semuanya pernah melihat teman satu gengnya menggenggam pistol
atau malahan diancam dengan pistol.
Tragedi demi tragedi terus terjadi. Dendam terus berkecamuk, seperti snow ball.
“Tidak
perlu ada masalah, pokoknya kalau ketemu, kami saling hajar,” kata Devi
Makmur alias Felix, salah satu pentolan XTC. Usianya masih muda belum
genap 30 tahun. Saya menemuinya di sebuah café tenda di Jalan
Dipatiukur.
Kejadian paling hangat Agustus 2006 ketika Brigez
sedang konvoi ke daerah Garut. Tiba-tiba XTC melempari mereka dengan
batu. Terjadi kejar-kejaran, lalu tawuran. Satu unit rumah dan mobil
milik warga hancur.
“Permasalahan
dengan XTC tidak akan pernah berakhir sampai kapan pun. Kami tidak
pernah mewarisi dendam ini, tapi generasi selanjutnya akan tahu dengan
sendirinya,” ujar Ilmanul kepada saya.
***
PERLU
dibedakan antara geng motor dengan Club Motor. Geng motor adalah
kumpulan orang-orang pecinta motor yang doyan kebut-kebutan, tanpa
membedakan jenis motor yang dikendarai. Sedangkan Club Motor biasanya
mengusung merek tertentu atau spesifikasi jenis motor tertentu dengan
perangkat organisasi formal, seperti HDC (Harley Davidson Club), Scooter
(kelompok pecinta Vesva), kelompok Honda, kelompok Suzuki, Tiger, Mio.
Ada juga Brotherhood kelompok pecinta motor besar tua.
Tapi
kalau soal aksi jalanan, semuanya sama saja. Kebanyakan sama-sama
merasa jadi raja jalanan, tak mau didahului, apalagi disalip oleh
pengendara lain.
Ada
empat geng motor yang paling besar di Bandung yakni Moonraker , Grab on
Road (GBR), Exalt to Coitus (XTC) dan Brigade Seven (Brigez). Keempat
geng itu sama- sama eksis dan memiliki anggota di atas 1000 orang. Kini
mereka mulai menjalar ke daerah- daerah pinggiran Jawa Barat, seperti
Tasikmalaya, Garut, Sukabumi, Ciamis, Cirebon dan Subang.
Kita
mulai saja dengan Moonraker. Inilah konon ruh dari semua geng motor di
Bandung. Moonraker lahir pada tahun 1978. Sel-sel komunitas ini, dirajut
oleh tujuh orang pemuda yang sama-sama hobi balap.
Nama
“Moonraker” diambil dari salah satu judul film James Bond yang kondang
ketika itu. Awalnya mereka mengusung bendera berwarna putih-biru-merah
dengan gambar palu arit di tengahnya. Namun, karena pemerintah Indonesia
saat itu melarang ideologi tertentu yang identik komunisme (yang
bersimbolkan palu arit), mereka lalu mengganti bendera kebanggaannya
dengan warna merah-putih- biru, bergambar kelelawar. Gambar ini mereka adopsi dari lambang “Hell Angel”, sebuah kelompok motor di Amerika Serikat.
Kelompok
ini konsisten dengan sistem keorganisasiannya. Setiap tahun ada
penggantian kepengurusan dan membuat program-program kerja. Struktur
Organisasinya terdiri atas Divisi Balap, Panglima Perang (Paper), dan
Tim SWAT atau regu penyelamat.
“Panglima
Perang” mungkin terdengar unik dalam sebuah organisasi pencinta motor.
Istilah ini biasanya digunakan oleh lembaga keamanan atau kelompok
bersenjata.
Di Moonraker sendiri, Panglima
Perang bertugas mengkoordinir anggota pada saat terjadi tawuran, atau
sebagai pembuat keputusan pada saat terjadi bentrok dengan kelompok
lain. Jika ada keputusan perang, informasi menyebar ke seluruh anggota
paling lama dalam waktu 24 jam.
Bagi
para pembangkang yang melanggar tata tertib organisasi, sudah disiapkan
tempat yang mereka sebut dengan nama “Sel 13,” semacam mahkamah
pengadilan.
Tempat
ini paling dihindari oleh semua anggota. Jangan mengharap sebuah proses
hukum layaknya sebuah lembaga pengadilan. Di sini para pembangkang itu
akan mendapat penyiksaan dari senior-seniornya.
Kategori
pelanggaran itu antara lain memakai dan mengedarkan narkoba, bertindak
melanggar hukum dan menjalin hubungan kasih dengan sesama anggota
Moonraker.
Pengikut Moonraker semakin lama, terus membengkak. Kini tercatat anggotanya mencapai 1.400 orang, tersebar di berbagai wilayah.
Menurut
Dandy Alfandy, salah satu pentolan Moonraker, sejak awal kelompok ini
berorientasi pada balapan. Konflik dengan geng XTC (musuh terbesar
Moonraker) pertama kali dipicu saat berlangsung kompetisi Road Race
piala Djarum Super tahun 90-an. Persoalannya sepele saja, hanya
senggol-menyenggol di arena balapan, entah siapa yang memulai.
Puncaknya,
terjadi tawuran besar-besaran antara ke dua geng ini pada tahun 1999.
Satu orang meninggal dunia pada peristiwa itu. Hingga kini dendam
sejarah itu masih mengendap dari generasi ke generasi. ”Pernah ada upaya
damai, tapi percuma saja. Sekali musuh tetap musuh,” ujar Dandy. Saya berbincang dengan pemuda Dandy di kantornya.
Kini Ia membuka usaha penyedia jasa travel.
XTC
punya anggota lebih banyak dari Moonraker. Siapa mereka? XTC atau Exalt
To Coitus lahir pada tahun 1982 oleh 7 orang pemuda.Belakangan nama itu
diganti menjadi Exalt To Creativity, karena nama semula agak berbau
porno.
Mereka
membawa bendera berwarna paling atas putih-biru muda-biru Tua. Di
tengahnya ada gambar lebah yang melambangkan solidaritas antar anggota.
Bila salah satu di antara mereka ada yang diserang, maka yang lainnya
akan membela.
Mereka
kini mendirikan Sexy Road Indonesia, kumpulan gengster XTC se-Indonesia
yang berpusat di Bandung, untuk memfasilitasi anggotanya yang sudah
melebihi 10.000 orang.
Tak
hanya Moonraker sebenarnya. Brigez dan GBR, juga menyatakan
permusuhannya terhadap XTC. Brigez yang paling antipati terhadap geng
yang satu ini. Asal muasal terjadinya permusuhan tidak jelas sampai
sekarang. Namun, baik XTC maupun Brigez menyatakan perang satu sama lain
hingga saat ini.
“Setiap
gengster ingin menjadi yang nomor satu, kenyataannya kami memang yang
paling banyak anggotanya,” ujar Ari Rinaldi, salah satu anggota XTC
mencoba menjawab alasan mengapa XTC banyak dimusuhi oleh geng lain. Ari
Rinaldi tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
Bandung.
Pasukan
ini juga memiliki Koordinator Perang, untuk mempermudah koordinasi jika
terjadi tawuran atau pada saat akan melakukan perbutan wilayah.
Perebutan wilayah termasuk upaya dalam rangka memperluas
daerah kekuasan dan meningkatkan prestise dikalangan gengster. Menurut
Felix, penyerangan biasanya dilakukan diam-diam ke basis-basis lawan.
Anggota XTC, banyak anak-anak dari lingkungan TNI atau Polisi. Tak heran, jika terjadi perang senjata api banyak beredar.
“Kami punya koneksi dengan pihak kepolisian, jadi kalau ada urusan dengan polisi cepat selesai,” ujar Felix meyakinkan saya.
Saya
menemui Luki, generasi kedua geng lebah ini di sebuah café di Bandung.
Ia seorang Sarjana Hukum dan kini bekerja di salah satu lembaga formal.
Tak diduga Luki dikawal oleh lebih dari 6 orang teman satu gengnya dan
saya berada di tengah-tengah mereka. Mereka bersikap sopan dan
menunjukkan keinginannya berbagi cerita dengan saya. Saat itu saya
seperti berada dalam acara talkshow, karena harus membagi kesempatan
semua untuk bercerita. Bahkan saya sempat mendapat tawaran untuk menjadi
ketua geng, wuaduh…
“Kami
ini kumpulan anak-anak nakal makanya masuk geng motor, kalo mau jadi
anak baik-baik lebih baik masuk pesantren saja,” ujar Iskandar,
laki-laki paruh baya. “Kerjaan kami ya hura-hura, bersenang-senang,”
tambahnya.
Lalu, mengapa geng motor identik dengan kekerasan?
“Itu karena aparat yang
menciptakan. Mereka sering main gebuk sembarangan. Kami memang sering
merampas motor milik geng lain saat bentrok, istilahnya rampasan perang.
Tapi motor itu langsung kami bakar, tidak dijual atau dimiliki oleh
salah satu dari kami,” kata Iskandar.
“Mungkin bagi polisi tindakan itu termasuk kriminal, tapi menurut kami bukan,”tambahnya.
Iskandar
termasuk pentolan XTC, ia juga ketua sebuah lembaga yang bergerak di
bidang penyediaan jasa pengamanan, Bodyguard Security Service (BOSS).
Markas BOSS dulu sering dijadikan tempat nongkrong anak-anak XTC.
Dalam
pertemuan itu, ketua XTC Avi Vabio akrab dipanggil Pepi, juga ada.
Usianya jauh lebih muda. Ia ternyata salah satu karyawan bank berplat
merah di Jawa Barat. Ia tak banyak banyak bicara, bahkan pertanyaan-pertanya an yang saya lontarkan kepadanya justru banyak dijawab oleh Luki.
Saya
memutuskan menemui Pepi lagi. Kami bertemu di tempat yang sama keesokan
harinya. Pepi membawa tiga orang kawannya. Dadan salah seorang di
antaranya mengatakan bahwa telah terjadi selisih paham di atara anggota
XTC sendiri. “Ada kelompok yang berusaha memanfaatkan massa XTC untuk
kepentingan politik. Padahal harapan kami, ada ruang untuk
berkreatifitas,” ujarnya. Malam itu Dadan membawa anak laki-lakinya yang
masih berusia sekitar 2 tahun.
Pepi
mengaku sering diajak berunjukrasa dengan iming-iming uang. “Kami
bahkan pernah terlibat dalam tim sukses Aa Tarmana, kandidat Walikota
Bandung, tapi kalah,” kata Pepi.
“Beberapa
partai politik pernah meminta massa dalam jumlah tertentu untuk
kampanye. Pada pemilu 2004, partai Demokrat juga meminta massa. Biasanya
kami dibayar per kepala, ya lumayan lah..”
Beberapa
hari lalu mereka juga mengirim 200 motor pada perayaan ulang tahun
Partai Demokrasi Pembaruan di Lapangan Gasibu Bandung.
Tidak
menutup kemungkinan pada kampanye-kampanye atau unjukrasa itu bertemu
dengan geng motor lain. Tapi kalau dalam urusan ini, mereka memilih
damai.
Pertengahan 2003, XTC melakukan penyerangan sensasional. Mereka menyerang kantor Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes)
Bandung.
Semua anggotanya tumpah ruah mengepung kantor Polwiltabes. Mereka
kecewa karena tidak diberi izin pada saat mau mengadakan bakti sosial,
akibat ada kesalahpahaman antara poilsi dengan panitia.
Polisi tak bisa berbuat banyak menghadapi ribuan
massa
yang memadati Jalan Merdeka sepanjang kurang lebih 3 Kilo Meter.
Beberapa orang yang dituduh provokator ditahan di kantor Polwiltabes
Bandung.
“Kalau gak ada XTC ya gak rame, gak akan terjadi perang,” Iskandar menambahkan. Tapi ia menitip pesan untuk para aparat: “tolong rangkul kami, masa GAM dengan RI saja bisa berdamai?”
TAHUN 1980-an juga ditandai kelahiran Brigez dan GBR.
Brigez lahir di SMUN 7 Bandung, sesuai
dengan namanya Brigade Seven. Sejak masih embrio pada tahun 80-an geng
ini merupakan rival terberat XTC. Awal terbentuknya tak lebih dari hanya
sekadar kumpul-kumpul biasa. “Kami hanya ingin bebas menjalankan motor,
tidak pakai helm, tidak pakai lampu apalagi rambu-rambu,” kata Ilmanul,
salah satu pendiri Brigez.
Dulu
geng ini hanya beranggotakan tidak lebih dari 50 motor. Kini
pengikutnya mencapai ribuan motor dan tersebar di berbagai daerah di
Jawa Barat. Sistem pengorganisasiannya tidak jelas. Tidak ada pengurus,
hanya ada ketua yang bertugas mengkoordinir saja.
Warna
bendera negara Irak tanpa huruf Arab di tengahnya, menjadi lambang
identitas kelompok ini dengan kelelawar hitam sebagai simbolnya.
Nama Brigez acapkali
diplesetkan menjadi Brigade setan atau Brigade Senja, karena mereka
sering nongkrong bersamaan dengan kepulangan sang surya.
Berbeda
dengan XTC, Brigez identik dengan sikap anti birokrasi. Mereka menolak
bersimbiosis dengan lembaga plat merah atau ormas bentukan kelompok
politik tertentu. Menurut Ilmanul, lamaran dari Ormas Pemuda Pancasila
untuk bergabung, ditolaknya mentah-mentah. Kalau pun ada anggotanya yang
menjadi kader partai, itu lebih bersifat individu dan tidak membawa
bendera Brigez.
Bersamaan
dengan Brigez, muncul pula Grab on Road (GBR). Yang berbeda, geng ini
dilahirkan di lingkungan SMPN 2 Bandung. Mereka tak rikuh kebut-kebutan,
sekalipun banyak yang belum pegang surat ijin mengemudi.
Kelompok
ini mengidentifikasi diri dengan segala sesuatu berbau Jerman, paling
tidak warna benderanya hitam-merah- kuning (urutan dari atas ke bawah).
Meski lahir di SMPN 2 Bandung, anggota GBR beragam. Bukan hanya siswa atau alumni sekoah itu saja, tapi kalangan umum lain.
Saya menemui Supiana, Pebina Urusan Kesiswaan SMPN 2 Bandung. Ia menolak sekolahnya diidentikan dengan geng.
“Tidak ada fakta bahwa GBR berdiri di SMPN 2,” ujarnya. Namun ia
membenarkan halaman sekolahnya dijadikan tempat bergerombol pada sekitar
tahun 80-an.
WENDY
Pranandha, anggota geng GBR, mengatakan keinginannya masuk geng karena
pengaruh lingkungan. “Saya terpaksa masuk geng karena 80 persen siswa
SMP 2 saat itu anggota geng GBR, selain ingin coba-coba.”
Dari
Wendy dan beberapa anggota lain, saya punya kesan bibit anggota geng
sepeda motor di Bandung dipupuk mulai usia belasan tahun, bahkan itu
tadi, sejak mereka duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Banyak sekolah-sekolah menjadi basis mereka. Seperti SMUN 7 terkenal sebagai sarangnya Brigez, SMU BPI sarangnya XTC dan SMP 2 tempat lahirnya GBR.
Labelisasi geng motor terhadap sekolah tertentu mempengaruhi pilihan
para calon siswa ketika menentukan sekolah mana yang akan mereka pilih.
Siswa yang sudah memiliki keterikatan dengan geng tertentu semasa duduk
di SMP, akan memilih SMU yang merupakan basis geng asalnya.
Sedangkan
siswa yang netral justru akan menghindari sekolah-sekolah yang identik
dengan geng. Bisa juga karena kehawatiran orang tua sehingga dimasukkan
ke sekolah yang lebih bersih dari geng. Meski demikian banyak siswa dan orang tuanya yang tidak terpengaruh dengan isu ini.
Pihak sekolah SMUN 7 Bandung, tempat bersarangnya Brigez, dulu kewalahan menghadapi mereka. Setiap hari ada saja ulah mereka, mulai
malak (meminta uang dengan paksa) teman-teman sekolahnya, hingga
mengancam para guru. Uang diistilahkan oleh mereka dengan sebutan
“sumsum.”
Wakil
Kepala Sekolah SMUN 7 Bandung Sucipto, pernah diajak berkelahi oleh
para anggota geng. Sucipto memang getol memerangi mereka.Ban motornya
sering kedapatan bocor atau namanya menjadi mozaik di tembok-tembok
sekolah dengan tulisan kasar dan mengejek.
Pada
1999, SMUN 7 melakukan pembersihan terhadap gengster. Spanduk-spanduk
anti geng, pembersihan tembok-tembok dari coretan “Brigez” dilakukan
dalam tempo singkat. Lalu pihak sekolah memutuskan untuk mengeluarkan
siswa yang terlibat geng.
Meski demikian, setiap tahun ada saja bibit Brigez yang tumbuh.
Dilarang
di sekolah, mereka mengeruhkan jalanan. Di jantung kota, di
pasar-pasar, di daerah pertokoan, jembatan, di gedung sekolah, gedung
pemerintahan, taman kota, dimana-mana di kawasan Bandung pasti terdapat
coret-coretan. Medianya bisa tembok, papan, batu, seng atau apapun yang
bisa menjadi media tulis.
Sekilas,
coretan-coretan itu tidak bermakna apa-apa. Kalau diperhatikan
coretan-coretan itu bertuliskan nama-nama geng motor. Yang paling banyak
ditemui adalah tulisan Brigez, XTC, M2R dan GBR . Bukan hanya di kota
Bandung, di daerah-daerah pinggiran pun, banyak beredar tulisan-tulisan
semacam itu.
Sepertinya
memang sepele. Tapi dari coretan itu bisa terjadi pertumpahan darah.
Tulisan nama geng di tembok di wilayah tertentu, menandakan wilayah
kekuasaan geng itu. Tulisan nama geng juga berarti kebanggaan bagi geng
tersebut.
Masalah
muncul jika dalam sebuah dinding terdapat nama salah satu geng, tapi
kemudian ada yang mencoret dan diganti dengan nama geng lain. Ini adalah
salah satu pemicu terjadinya tawuran antar geng. “Kalau ke
luar kota, kami pasti menyempatkan mencoret dinding, itu menandakan
bahwa kami pernah ke tempat itu dan itu adalah kebanggaan,” kata Ilmanul
Bagi
para geng coret-coret dinding itu memicu adrenalin. Mereka harus
berhadapan dengan aparat keamanan pada saat beraksi. Lebih dari itu
mereka harus berhadapan dengan geng lain yang menguasai wilayah setempat.
MASUK
ke dalam komunitas ini tidak cuma-cuma. Calon anggota Moonraker,
misalkan, tak jarang diwajibkan mengendarai motor tanpa rem dari Lembang
hingga Jalan Setibudhi Bandung. Jaraknya sekitar 15 kilometer.
Kalau tidak disuruh ngebut tanpa rem, anak baru dipaksa berkelahi dengan seniornya.
Pendeknya,
mereka tampil pada panggung kehidupan sosial dengan menawarkan
model-model kekerasan. Diakui atau tidak, itulah pola yang terbentuk
melalui berbagai gerakan yang mereka tampilkan. Tindakan kekerasan
seperti kebutuhan spritual untuk membentuk identitas kelompoknya.
“Tindakan melanggar hukum memang ada, hanya agar orang lain tahu bahwa kami ada,” kata Ilmanul, anggota Brigez itu. Ia
kini berusia 27 tahun dan kini berwiraswasta. “Kalau soal membuka jalan
dan memukul spion mobil orang, itu biasa dan sering dilakukan pada saat
konvoi. Ada juga yang mencuri, tapi uangnya digunakan rame-rame untuk pergi keluar kota atau konvoi,” tambahnya.
Setiap geng memang tidak membenarkan tindakan itu, tapi ada tradisi yang tidak tertulis dan dipahami secara kolektif bahwa
tindakan itu adalah bagian dari kehidupan jalanan. Apalagi jika yang
melakukannya anggota baru yang masih berusia belasan tahun. Mereka
“mewajarkannya” sebagai salah satu upaya mencari jati diri.
Yopi,
anggota GBR berusia 25 tahun, punya pengalaman yang membuat jantungnya
bertabuh. Pada suatu malam di Jalan Cihampelas, dia bersama seorang
temannya menghadang dan mengancam seorang pengendara motor. Setelah
berhasil mematahkan keberanian orang itu, ia dan temannya justru bingung
mau melakukan apa. Akhirnya keduanya sepakat untuk mengambil uang
secukupnya dari dompet korban, lalu kabur sekencang-kencangny a.
“Deg-degan, tapi puas karena gak tertangkap polisi,” kenang Yopi seraya tersenyum lebar.
Ada
juga inisiasi yang lain. Untuk menjadi anggota senior, misalkan. Ia
tidak cukup dengan berapa lama dia bergabung di geng itu, tapi butuh
pembuktian bahwa orang itu berani melakukan hal yang paling beresiko
sekalipun. Semakin tinggi resiko yang dia ambil, semakin tinggi pula
penghormatan atas dirinya
Senior
adalah kedudukan penting bagi geng. Seorang senior mempunyai
keleluasaan dalam hal apapun. Ia juga mempunyai hak menentukan keputusan
terhadap para junior. Kedudukan senior bahkan lebih tinggi di atas
ketua geng. Senior bisa memutuskan salah atau benar dan menghukum junior
dengan caranya sendiri.
Wendy
Pranandha, anggota GBR, mengatakan peran senior amat menentukan. Sekali
saja ada anggota yunior tidak kelihatan kumpul wajib setiap malam minggu, si senior akan menghajar sesuka hatinya, tak peduli alasan apapun.
Kekerasan seolah mewakili spirit mereka. Mungkin juga mereka menganggap itu pilihan gaya hidup...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Jumat, 16 September 2011
di
08.40
|
ASAL MULA TERBENTUKNYA GENG DI BANDUNG
Oleh Mulyani Hasan
Oleh Mulyani Hasan
Mulanya
kumpul-kumpul sesama pecinta motor, kemudian berubah jadi geng yang
beranggotakan puluhan bahkan ratusan orang. Di jalanan, mereka membentuk
gaya
hidup yang terkadang menyimpang dari kelaziman demi menancapkan
identitas kelompok. Ngetrack, kebut-kebutan, dan tawuran adalah upaya
dalam pencarian identitas itu.
KAWASAN
Cilaki, Bandung, suatu sore. Matahari mulai menepi. Tak seluruh
siluetnya jatuh ke jalanan. Kerimbunan pepohonan menghalanginya. Dalam
teduh, tiga remaja terlihat sedang duduk-duduk. Mereka pelajar sekolah
menengah atas yang sedang membunuh waktu, menunggu tibanya jadwal
bimbingan belajar.
Dari
kejauhan, sepeda-sepeda motor menderu-deru. Jumlahnya belasan. Mereka
jalan beriringan. Pedalnya dibuat meraung-raung, walau kecepatannya tak
lebih kencang dari pembalap paling bego sekalipun.
Mereka
melintasi tiga pelajar itu. Mereka, seperti tiga pelajar itu, semuanya
berseragam putih abu. Tapi kedua kelompok jelas dari sekolah yang
berbeda, dan mungkin tak saling kenal. Sebagian pengendara
menyembunyikan seragam putih-abu itu di dalam jaketnya.
Tepat
di depan ketiga pelajar, salah satu pengendara motor terjatuh, seperti
disengaja. Sontak saja teman-temannya melimpahkan kesalahan kepada tiga
pelajar itu. “Maneh budak mana, tong macem-macem ka aing,” bentak salah
satu pengendara motor itu. (Kamu anak mana, jangan macam-macam. )
Tiga
pelajar tadi tak merespon. Merasa di atas angin, para pengendara itu
melampiaskan kebinatangannya. Salah seorang mulai memukul. Dan ketika
ketiga pelajar itu tak menunjukkan perlawanan, yang lain makin berani
dan mulai ikut memukul. Adegan selanjutnya sudah bisa diduga,
pengeroyokan tanpa alasan berlangsung dalam waktu cepat. Dua di antara
tiga pelajar itu babak belur.
Antoni Adi Krisna, salah satu pelajar dari SMUN 9 Bandung , dipukuli bertubi-tubi. Darah segar mengalir dari hidungnya. Pelajar
lainnya dari sekolah yang sama, Muri Nugraha, dipaksa untuk menyerahkan
barang berharga. Dompet pun melayang. Seorang lagi, Rizal Satria
pelajar SMUN 2 Bandung, selamat dari aniaya itu. Ia mengambil langkah
seribu.
Usai beraksi,
geng tadi berlalu. Seorang pengendara tak lupa berseru dengan pongah
“Aing raja jalanan tong macem-macem ka aing.” (Aku raja jalanan, jangan
macam-macam) .
Suara knalpot memecah telinga, kemudian sunyi.
“Saya
dan pedagang lain melihat kejadian itu, tapi tidak satupun di antara
kami yang berani melawan mereka. Jumlahnya terlalu banyak,” Maryati,
pemilik kios itu mengatakan kepada saya
Menurut
Rita pengelola Daniel Bimbingan Belajar, Antoni Adi Krisna mengalami
shock dan tidak ingin ditemui oleh wartawan. Demikian juga dengan orang
tuanya yang tak ingin anak-anaknya terus terusan dijadikan bahan
pemberitaan. “Ini tempat bimbingan belajar, jadi kami sangat menghormati
pripasi pengguna jasa kami,” ujar Rita ketika saya meminta bertemu
degan Antoni.
ADA
masa-masa tak aman di jalanan Bandung. Geng motor, beranggotakan
beberapa orang atau puluhan hingga ratusan, tak jarang bikin cemas.
Ajun
Komisaris Besar Polisi Masyudi, Kepala Polisi Resort Bandung Tengah,
termasuk yang jengkel atas perilaku mereka. Ia mengancam akan melarang
keberadaan geng motor.
Bisa
dipahami kalau Masyudi jengkel. Soalnya, menurut Inspektur Polisi Wadi
Sa’bani, Kepala Unit Reserse Kriminal Polisi Sektor Bandung Tengah,
kasus-kasus kriminal yang melibatkan geng sepeda motor belakangan ini
menunjukkan kecenderungan meningkat.
Dalam
satu tahun terakhir saja, kata dia, terjadi dua kasus setiap minggunya.
Jumlah ini belum termasuk pengaduan dari masyarakat. Jenis kejahatannya
beragam, mulai pencurian, tawuran, perampokan dengan kekerasan dan
pengrusakan tempat umum.
“Dikota lain, aksi brutal para gengster tidak separah di Bandung, bahkan mungkin tidak ada,”ujarnya, menerka-nerka.
Sa’bani
yang saya temui di kantornya mengungkapkan perilaku mereka didasari
motif yang tak jelas. Bahkan, bukan sekadar kebutuhan ekonomi. Faktanya,
banyak dari mereka berasal dari keluarga mampu. “Ada semacam kepuasan
jika melakukan aksi melanggar hukum.”
“Kebanyakan dari mereka yang tercatat di kepolisian adalah anggota kelompok XTC.”
Menurut Sa’bani, di antara mereka tak sedikit residivis dalam kasus pencurian kendaraan bermotor.
Ada
catatan buat si residivis itu. Salah satunya menimpa perempuan muda
bernama Furwanti, 18 tahun. Tengah malam ia lewat di Jalan Laswi. Tiga
motor dengan enam orang pengendara, melaju pelan di hadapan Furyanti.
Plat
nomor motor mereka ditutupi plastik. Satu dari mereka memepet Furyani
dan menempelkan sebilah golok di samping leher Furwanti. Hanya perlu
sedikit gerakan untuk menyobek leher itu. Furwanti terkesima dan
berhenti.
Dengan
sewenang-wenang mereka merampas helm dan kunci kontak, lalu kabur
dengan kecepatan tinggi. Belum habis teriakan Furwanti, beberapa polisi
mendekati Furwanti kemudian langsung mengejar mereka. Nampaknya polisi
telah mengintai mereka dari jauh.
Polisi hanya berhasil menangkap dua tersangka pelaku. Empat orang lainnya lolos.
KECENDERUNGAN
perilaku mereka mengarah ke kriminal setidaknya telah berlangsung sejak
tahun 1990-an lalu, tak lama setelah arena balapan di jalanan di
Bandung dijaga ketat aparat kepolisian. Jalanan yang sering digunakan untuk kebut-kebutan antara lain kawasan Gasibu di Jalan Diponegoro, kawasan Dago dan Jalan Supratman.
Arena
kebut-kebutan tak lagi terlokalisasi. Mereka menyebar secara sporadis
ke jalanan lain yang lolos dari pindaian polisi. Jalanan membawa hawa
panas rupanya. Mereka tak sekadar kebut-kebutan, tapi juga tawuran.
Pada
1995, tiga pemuda dikerangkeng di balik penjara, karena terbukti
bersalah dalam kasus tawuran antara geng Brigez dengan Binter Mercy.
Satu orang anggota Binter Mercy tewas.
Saya
berkunjung ke rumah Ilmanul salah satu anggota Brigez yang dinyatakan
bersalah oleh pengadilan. Saya mendapat sambutan hangat darinya. “Saat
itu saya tidak tahu ada orang yang terbunuh, saya baru tahu dari koran
keesokan harinya,” ujar Ilmanul meceritakan kepada saya.
“Dalam
tawuran, kita tidak peduli berapa korban yang terluka atau yang
terbunuh, yang penting saat itu bagaimana menyelamatkan diri dan
teman-teman,” tambahnya.
Ilmanul dihukum dua tahun
penjara, sedangkan dua orang temannya masing-masing dihukum tiga tahun
dan 2,5 tahun penjara. “Waktu itu memang kami bersalah,
menggesek-gesekan samurai di depan mereka,” kata Ilmanul.
Yopi, anggota
GBR, mengisahkan tragedi paling mengerikan dalam hidupnya pada tahun
1998, ketika terjadi perang besar-besaran antara GBR dengan XTC yang
melibatkan ratusan anggota geng motor di kawasan Dago. Lima orang
meninggal dalam tragedi itu. Mereka mengenangnya dalam ungkapan “Dago
Menangis.”
Yopi lulusan Universitas Pasundan Bandung tengah mendirikan lembaga konsultan dalam bidang pangan. Ia memutuskan untuk tidak lagi ikut dalam kegiatan geng motor.
“Teman saya banyak yang meninggal, akibat tawuran dan OD (Over Dosis-red),”ungkapny a.
Wendy
Prananda, juga anggota GBR, menyaksikan temannya sendiri kehilangan
salah satu telinganya akibat dipotong lawan tawurannya. Tapi
peristiwa-peristiwa itu tidak menjadi alasan untuk jera. Wendy menyukai
dunia broadcast. Ia menjadi juru kamera di salah satu televisi lokal di
Bandung. “Kami seperti keluarga, meski saya sudah jarang gabung, tapi
soal kesetiakawanan gak pernah luntur,” kata Wendy ketika saya
menemuinya di kantornya.
Tahun
itu seolah menjadi titik klimaks aksi brutal mereka. Pertemuan antar
geng sering jadi saat yang paling rawan gesekan. Nyawa berguguran dan
melahirkan dendam tak berujung.
Samurai,
jenis golok berukuran panjang yang biasa digunakan oleh kelompok Ninja
di Jepang, menjadi senjata khas mereka. Tidak hanya saat tawuran,
senjata ini biasa dipamerkan pada saat konvoi. Samurai dilepas dan ujung
runcingnya digesekkan ke jalanan hingga memercikan cahaya api.
Senjata
lainnya yang biasa digunakan yakni golok, stik soft ball, bom molotof
bahkan senjata api jenis pistol. Tidak tahu pasti siapa yang menggunakan
senjata api, namun dari penuturan sebagian anggota geng yang saya
temui, semuanya pernah melihat teman satu gengnya menggenggam pistol
atau malahan diancam dengan pistol.
Tragedi demi tragedi terus terjadi. Dendam terus berkecamuk, seperti snow ball.
“Tidak
perlu ada masalah, pokoknya kalau ketemu, kami saling hajar,” kata Devi
Makmur alias Felix, salah satu pentolan XTC. Usianya masih muda belum
genap 30 tahun. Saya menemuinya di sebuah café tenda di Jalan
Dipatiukur.
Kejadian paling hangat Agustus 2006 ketika Brigez
sedang konvoi ke daerah Garut. Tiba-tiba XTC melempari mereka dengan
batu. Terjadi kejar-kejaran, lalu tawuran. Satu unit rumah dan mobil
milik warga hancur.
“Permasalahan
dengan XTC tidak akan pernah berakhir sampai kapan pun. Kami tidak
pernah mewarisi dendam ini, tapi generasi selanjutnya akan tahu dengan
sendirinya,” ujar Ilmanul kepada saya.
***
PERLU
dibedakan antara geng motor dengan Club Motor. Geng motor adalah
kumpulan orang-orang pecinta motor yang doyan kebut-kebutan, tanpa
membedakan jenis motor yang dikendarai. Sedangkan Club Motor biasanya
mengusung merek tertentu atau spesifikasi jenis motor tertentu dengan
perangkat organisasi formal, seperti HDC (Harley Davidson Club), Scooter
(kelompok pecinta Vesva), kelompok Honda, kelompok Suzuki, Tiger, Mio.
Ada juga Brotherhood kelompok pecinta motor besar tua.
Tapi
kalau soal aksi jalanan, semuanya sama saja. Kebanyakan sama-sama
merasa jadi raja jalanan, tak mau didahului, apalagi disalip oleh
pengendara lain.
Ada
empat geng motor yang paling besar di Bandung yakni Moonraker , Grab on
Road (GBR), Exalt to Coitus (XTC) dan Brigade Seven (Brigez). Keempat
geng itu sama- sama eksis dan memiliki anggota di atas 1000 orang. Kini
mereka mulai menjalar ke daerah- daerah pinggiran Jawa Barat, seperti
Tasikmalaya, Garut, Sukabumi, Ciamis, Cirebon dan Subang.
Kita
mulai saja dengan Moonraker. Inilah konon ruh dari semua geng motor di
Bandung. Moonraker lahir pada tahun 1978. Sel-sel komunitas ini, dirajut
oleh tujuh orang pemuda yang sama-sama hobi balap.
Nama
“Moonraker” diambil dari salah satu judul film James Bond yang kondang
ketika itu. Awalnya mereka mengusung bendera berwarna putih-biru-merah
dengan gambar palu arit di tengahnya. Namun, karena pemerintah Indonesia
saat itu melarang ideologi tertentu yang identik komunisme (yang
bersimbolkan palu arit), mereka lalu mengganti bendera kebanggaannya
dengan warna merah-putih- biru, bergambar kelelawar. Gambar ini mereka adopsi dari lambang “Hell Angel”, sebuah kelompok motor di Amerika Serikat.
Kelompok
ini konsisten dengan sistem keorganisasiannya. Setiap tahun ada
penggantian kepengurusan dan membuat program-program kerja. Struktur
Organisasinya terdiri atas Divisi Balap, Panglima Perang (Paper), dan
Tim SWAT atau regu penyelamat.
“Panglima
Perang” mungkin terdengar unik dalam sebuah organisasi pencinta motor.
Istilah ini biasanya digunakan oleh lembaga keamanan atau kelompok
bersenjata.
Di Moonraker sendiri, Panglima
Perang bertugas mengkoordinir anggota pada saat terjadi tawuran, atau
sebagai pembuat keputusan pada saat terjadi bentrok dengan kelompok
lain. Jika ada keputusan perang, informasi menyebar ke seluruh anggota
paling lama dalam waktu 24 jam.
Bagi
para pembangkang yang melanggar tata tertib organisasi, sudah disiapkan
tempat yang mereka sebut dengan nama “Sel 13,” semacam mahkamah
pengadilan.
Tempat
ini paling dihindari oleh semua anggota. Jangan mengharap sebuah proses
hukum layaknya sebuah lembaga pengadilan. Di sini para pembangkang itu
akan mendapat penyiksaan dari senior-seniornya.
Kategori
pelanggaran itu antara lain memakai dan mengedarkan narkoba, bertindak
melanggar hukum dan menjalin hubungan kasih dengan sesama anggota
Moonraker.
Pengikut Moonraker semakin lama, terus membengkak. Kini tercatat anggotanya mencapai 1.400 orang, tersebar di berbagai wilayah.
Menurut
Dandy Alfandy, salah satu pentolan Moonraker, sejak awal kelompok ini
berorientasi pada balapan. Konflik dengan geng XTC (musuh terbesar
Moonraker) pertama kali dipicu saat berlangsung kompetisi Road Race
piala Djarum Super tahun 90-an. Persoalannya sepele saja, hanya
senggol-menyenggol di arena balapan, entah siapa yang memulai.
Puncaknya,
terjadi tawuran besar-besaran antara ke dua geng ini pada tahun 1999.
Satu orang meninggal dunia pada peristiwa itu. Hingga kini dendam
sejarah itu masih mengendap dari generasi ke generasi. ”Pernah ada upaya
damai, tapi percuma saja. Sekali musuh tetap musuh,” ujar Dandy. Saya berbincang dengan pemuda Dandy di kantornya.
Kini Ia membuka usaha penyedia jasa travel.
XTC
punya anggota lebih banyak dari Moonraker. Siapa mereka? XTC atau Exalt
To Coitus lahir pada tahun 1982 oleh 7 orang pemuda.Belakangan nama itu
diganti menjadi Exalt To Creativity, karena nama semula agak berbau
porno.
Mereka
membawa bendera berwarna paling atas putih-biru muda-biru Tua. Di
tengahnya ada gambar lebah yang melambangkan solidaritas antar anggota.
Bila salah satu di antara mereka ada yang diserang, maka yang lainnya
akan membela.
Mereka
kini mendirikan Sexy Road Indonesia, kumpulan gengster XTC se-Indonesia
yang berpusat di Bandung, untuk memfasilitasi anggotanya yang sudah
melebihi 10.000 orang.
Tak
hanya Moonraker sebenarnya. Brigez dan GBR, juga menyatakan
permusuhannya terhadap XTC. Brigez yang paling antipati terhadap geng
yang satu ini. Asal muasal terjadinya permusuhan tidak jelas sampai
sekarang. Namun, baik XTC maupun Brigez menyatakan perang satu sama lain
hingga saat ini.
“Setiap
gengster ingin menjadi yang nomor satu, kenyataannya kami memang yang
paling banyak anggotanya,” ujar Ari Rinaldi, salah satu anggota XTC
mencoba menjawab alasan mengapa XTC banyak dimusuhi oleh geng lain. Ari
Rinaldi tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
Bandung.
Pasukan
ini juga memiliki Koordinator Perang, untuk mempermudah koordinasi jika
terjadi tawuran atau pada saat akan melakukan perbutan wilayah.
Perebutan wilayah termasuk upaya dalam rangka memperluas
daerah kekuasan dan meningkatkan prestise dikalangan gengster. Menurut
Felix, penyerangan biasanya dilakukan diam-diam ke basis-basis lawan.
Anggota XTC, banyak anak-anak dari lingkungan TNI atau Polisi. Tak heran, jika terjadi perang senjata api banyak beredar.
“Kami punya koneksi dengan pihak kepolisian, jadi kalau ada urusan dengan polisi cepat selesai,” ujar Felix meyakinkan saya.
Saya
menemui Luki, generasi kedua geng lebah ini di sebuah café di Bandung.
Ia seorang Sarjana Hukum dan kini bekerja di salah satu lembaga formal.
Tak diduga Luki dikawal oleh lebih dari 6 orang teman satu gengnya dan
saya berada di tengah-tengah mereka. Mereka bersikap sopan dan
menunjukkan keinginannya berbagi cerita dengan saya. Saat itu saya
seperti berada dalam acara talkshow, karena harus membagi kesempatan
semua untuk bercerita. Bahkan saya sempat mendapat tawaran untuk menjadi
ketua geng, wuaduh…
“Kami
ini kumpulan anak-anak nakal makanya masuk geng motor, kalo mau jadi
anak baik-baik lebih baik masuk pesantren saja,” ujar Iskandar,
laki-laki paruh baya. “Kerjaan kami ya hura-hura, bersenang-senang,”
tambahnya.
Lalu, mengapa geng motor identik dengan kekerasan?
“Itu karena aparat yang
menciptakan. Mereka sering main gebuk sembarangan. Kami memang sering
merampas motor milik geng lain saat bentrok, istilahnya rampasan perang.
Tapi motor itu langsung kami bakar, tidak dijual atau dimiliki oleh
salah satu dari kami,” kata Iskandar.
“Mungkin bagi polisi tindakan itu termasuk kriminal, tapi menurut kami bukan,”tambahnya.
Iskandar
termasuk pentolan XTC, ia juga ketua sebuah lembaga yang bergerak di
bidang penyediaan jasa pengamanan, Bodyguard Security Service (BOSS).
Markas BOSS dulu sering dijadikan tempat nongkrong anak-anak XTC.
Dalam
pertemuan itu, ketua XTC Avi Vabio akrab dipanggil Pepi, juga ada.
Usianya jauh lebih muda. Ia ternyata salah satu karyawan bank berplat
merah di Jawa Barat. Ia tak banyak banyak bicara, bahkan pertanyaan-pertanya an yang saya lontarkan kepadanya justru banyak dijawab oleh Luki.
Saya
memutuskan menemui Pepi lagi. Kami bertemu di tempat yang sama keesokan
harinya. Pepi membawa tiga orang kawannya. Dadan salah seorang di
antaranya mengatakan bahwa telah terjadi selisih paham di atara anggota
XTC sendiri. “Ada kelompok yang berusaha memanfaatkan massa XTC untuk
kepentingan politik. Padahal harapan kami, ada ruang untuk
berkreatifitas,” ujarnya. Malam itu Dadan membawa anak laki-lakinya yang
masih berusia sekitar 2 tahun.
Pepi
mengaku sering diajak berunjukrasa dengan iming-iming uang. “Kami
bahkan pernah terlibat dalam tim sukses Aa Tarmana, kandidat Walikota
Bandung, tapi kalah,” kata Pepi.
“Beberapa
partai politik pernah meminta massa dalam jumlah tertentu untuk
kampanye. Pada pemilu 2004, partai Demokrat juga meminta massa. Biasanya
kami dibayar per kepala, ya lumayan lah..”
Beberapa
hari lalu mereka juga mengirim 200 motor pada perayaan ulang tahun
Partai Demokrasi Pembaruan di Lapangan Gasibu Bandung.
Tidak
menutup kemungkinan pada kampanye-kampanye atau unjukrasa itu bertemu
dengan geng motor lain. Tapi kalau dalam urusan ini, mereka memilih
damai.
Pertengahan 2003, XTC melakukan penyerangan sensasional. Mereka menyerang kantor Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes)
Bandung.
Semua anggotanya tumpah ruah mengepung kantor Polwiltabes. Mereka
kecewa karena tidak diberi izin pada saat mau mengadakan bakti sosial,
akibat ada kesalahpahaman antara poilsi dengan panitia.
Polisi tak bisa berbuat banyak menghadapi ribuan
massa
yang memadati Jalan Merdeka sepanjang kurang lebih 3 Kilo Meter.
Beberapa orang yang dituduh provokator ditahan di kantor Polwiltabes
Bandung.
“Kalau gak ada XTC ya gak rame, gak akan terjadi perang,” Iskandar menambahkan. Tapi ia menitip pesan untuk para aparat: “tolong rangkul kami, masa GAM dengan RI saja bisa berdamai?”
TAHUN 1980-an juga ditandai kelahiran Brigez dan GBR.
Brigez lahir di SMUN 7 Bandung, sesuai
dengan namanya Brigade Seven. Sejak masih embrio pada tahun 80-an geng
ini merupakan rival terberat XTC. Awal terbentuknya tak lebih dari hanya
sekadar kumpul-kumpul biasa. “Kami hanya ingin bebas menjalankan motor,
tidak pakai helm, tidak pakai lampu apalagi rambu-rambu,” kata Ilmanul,
salah satu pendiri Brigez.
Dulu
geng ini hanya beranggotakan tidak lebih dari 50 motor. Kini
pengikutnya mencapai ribuan motor dan tersebar di berbagai daerah di
Jawa Barat. Sistem pengorganisasiannya tidak jelas. Tidak ada pengurus,
hanya ada ketua yang bertugas mengkoordinir saja.
Warna
bendera negara Irak tanpa huruf Arab di tengahnya, menjadi lambang
identitas kelompok ini dengan kelelawar hitam sebagai simbolnya.
Nama Brigez acapkali
diplesetkan menjadi Brigade setan atau Brigade Senja, karena mereka
sering nongkrong bersamaan dengan kepulangan sang surya.
Berbeda
dengan XTC, Brigez identik dengan sikap anti birokrasi. Mereka menolak
bersimbiosis dengan lembaga plat merah atau ormas bentukan kelompok
politik tertentu. Menurut Ilmanul, lamaran dari Ormas Pemuda Pancasila
untuk bergabung, ditolaknya mentah-mentah. Kalau pun ada anggotanya yang
menjadi kader partai, itu lebih bersifat individu dan tidak membawa
bendera Brigez.
Bersamaan
dengan Brigez, muncul pula Grab on Road (GBR). Yang berbeda, geng ini
dilahirkan di lingkungan SMPN 2 Bandung. Mereka tak rikuh kebut-kebutan,
sekalipun banyak yang belum pegang surat ijin mengemudi.
Kelompok
ini mengidentifikasi diri dengan segala sesuatu berbau Jerman, paling
tidak warna benderanya hitam-merah- kuning (urutan dari atas ke bawah).
Meski lahir di SMPN 2 Bandung, anggota GBR beragam. Bukan hanya siswa atau alumni sekoah itu saja, tapi kalangan umum lain.
Saya menemui Supiana, Pebina Urusan Kesiswaan SMPN 2 Bandung. Ia menolak sekolahnya diidentikan dengan geng.
“Tidak ada fakta bahwa GBR berdiri di SMPN 2,” ujarnya. Namun ia
membenarkan halaman sekolahnya dijadikan tempat bergerombol pada sekitar
tahun 80-an.
WENDY
Pranandha, anggota geng GBR, mengatakan keinginannya masuk geng karena
pengaruh lingkungan. “Saya terpaksa masuk geng karena 80 persen siswa
SMP 2 saat itu anggota geng GBR, selain ingin coba-coba.”
Dari
Wendy dan beberapa anggota lain, saya punya kesan bibit anggota geng
sepeda motor di Bandung dipupuk mulai usia belasan tahun, bahkan itu
tadi, sejak mereka duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Banyak sekolah-sekolah menjadi basis mereka. Seperti SMUN 7 terkenal sebagai sarangnya Brigez, SMU BPI sarangnya XTC dan SMP 2 tempat lahirnya GBR.
Labelisasi geng motor terhadap sekolah tertentu mempengaruhi pilihan
para calon siswa ketika menentukan sekolah mana yang akan mereka pilih.
Siswa yang sudah memiliki keterikatan dengan geng tertentu semasa duduk
di SMP, akan memilih SMU yang merupakan basis geng asalnya.
Sedangkan
siswa yang netral justru akan menghindari sekolah-sekolah yang identik
dengan geng. Bisa juga karena kehawatiran orang tua sehingga dimasukkan
ke sekolah yang lebih bersih dari geng. Meski demikian banyak siswa dan orang tuanya yang tidak terpengaruh dengan isu ini.
Pihak sekolah SMUN 7 Bandung, tempat bersarangnya Brigez, dulu kewalahan menghadapi mereka. Setiap hari ada saja ulah mereka, mulai
malak (meminta uang dengan paksa) teman-teman sekolahnya, hingga
mengancam para guru. Uang diistilahkan oleh mereka dengan sebutan
“sumsum.”
Wakil
Kepala Sekolah SMUN 7 Bandung Sucipto, pernah diajak berkelahi oleh
para anggota geng. Sucipto memang getol memerangi mereka.Ban motornya
sering kedapatan bocor atau namanya menjadi mozaik di tembok-tembok
sekolah dengan tulisan kasar dan mengejek.
Pada
1999, SMUN 7 melakukan pembersihan terhadap gengster. Spanduk-spanduk
anti geng, pembersihan tembok-tembok dari coretan “Brigez” dilakukan
dalam tempo singkat. Lalu pihak sekolah memutuskan untuk mengeluarkan
siswa yang terlibat geng.
Meski demikian, setiap tahun ada saja bibit Brigez yang tumbuh.
Dilarang
di sekolah, mereka mengeruhkan jalanan. Di jantung kota, di
pasar-pasar, di daerah pertokoan, jembatan, di gedung sekolah, gedung
pemerintahan, taman kota, dimana-mana di kawasan Bandung pasti terdapat
coret-coretan. Medianya bisa tembok, papan, batu, seng atau apapun yang
bisa menjadi media tulis.
Sekilas,
coretan-coretan itu tidak bermakna apa-apa. Kalau diperhatikan
coretan-coretan itu bertuliskan nama-nama geng motor. Yang paling banyak
ditemui adalah tulisan Brigez, XTC, M2R dan GBR . Bukan hanya di kota
Bandung, di daerah-daerah pinggiran pun, banyak beredar tulisan-tulisan
semacam itu.
Sepertinya
memang sepele. Tapi dari coretan itu bisa terjadi pertumpahan darah.
Tulisan nama geng di tembok di wilayah tertentu, menandakan wilayah
kekuasaan geng itu. Tulisan nama geng juga berarti kebanggaan bagi geng
tersebut.
Masalah
muncul jika dalam sebuah dinding terdapat nama salah satu geng, tapi
kemudian ada yang mencoret dan diganti dengan nama geng lain. Ini adalah
salah satu pemicu terjadinya tawuran antar geng. “Kalau ke
luar kota, kami pasti menyempatkan mencoret dinding, itu menandakan
bahwa kami pernah ke tempat itu dan itu adalah kebanggaan,” kata Ilmanul
Bagi
para geng coret-coret dinding itu memicu adrenalin. Mereka harus
berhadapan dengan aparat keamanan pada saat beraksi. Lebih dari itu
mereka harus berhadapan dengan geng lain yang menguasai wilayah setempat.
MASUK
ke dalam komunitas ini tidak cuma-cuma. Calon anggota Moonraker,
misalkan, tak jarang diwajibkan mengendarai motor tanpa rem dari Lembang
hingga Jalan Setibudhi Bandung. Jaraknya sekitar 15 kilometer.
Kalau tidak disuruh ngebut tanpa rem, anak baru dipaksa berkelahi dengan seniornya.
Pendeknya,
mereka tampil pada panggung kehidupan sosial dengan menawarkan
model-model kekerasan. Diakui atau tidak, itulah pola yang terbentuk
melalui berbagai gerakan yang mereka tampilkan. Tindakan kekerasan
seperti kebutuhan spritual untuk membentuk identitas kelompoknya.
“Tindakan melanggar hukum memang ada, hanya agar orang lain tahu bahwa kami ada,” kata Ilmanul, anggota Brigez itu. Ia
kini berusia 27 tahun dan kini berwiraswasta. “Kalau soal membuka jalan
dan memukul spion mobil orang, itu biasa dan sering dilakukan pada saat
konvoi. Ada juga yang mencuri, tapi uangnya digunakan rame-rame untuk pergi keluar kota atau konvoi,” tambahnya.
Setiap geng memang tidak membenarkan tindakan itu, tapi ada tradisi yang tidak tertulis dan dipahami secara kolektif bahwa
tindakan itu adalah bagian dari kehidupan jalanan. Apalagi jika yang
melakukannya anggota baru yang masih berusia belasan tahun. Mereka
“mewajarkannya” sebagai salah satu upaya mencari jati diri.
Yopi,
anggota GBR berusia 25 tahun, punya pengalaman yang membuat jantungnya
bertabuh. Pada suatu malam di Jalan Cihampelas, dia bersama seorang
temannya menghadang dan mengancam seorang pengendara motor. Setelah
berhasil mematahkan keberanian orang itu, ia dan temannya justru bingung
mau melakukan apa. Akhirnya keduanya sepakat untuk mengambil uang
secukupnya dari dompet korban, lalu kabur sekencang-kencangny a.
“Deg-degan, tapi puas karena gak tertangkap polisi,” kenang Yopi seraya tersenyum lebar.
Ada
juga inisiasi yang lain. Untuk menjadi anggota senior, misalkan. Ia
tidak cukup dengan berapa lama dia bergabung di geng itu, tapi butuh
pembuktian bahwa orang itu berani melakukan hal yang paling beresiko
sekalipun. Semakin tinggi resiko yang dia ambil, semakin tinggi pula
penghormatan atas dirinya
Senior
adalah kedudukan penting bagi geng. Seorang senior mempunyai
keleluasaan dalam hal apapun. Ia juga mempunyai hak menentukan keputusan
terhadap para junior. Kedudukan senior bahkan lebih tinggi di atas
ketua geng. Senior bisa memutuskan salah atau benar dan menghukum junior
dengan caranya sendiri.
Wendy
Pranandha, anggota GBR, mengatakan peran senior amat menentukan. Sekali
saja ada anggota yunior tidak kelihatan kumpul wajib setiap malam minggu, si senior akan menghajar sesuka hatinya, tak peduli alasan apapun.
Kekerasan seolah mewakili spirit mereka. Mungkin juga mereka menganggap itu pilihan gaya hidup...
Diposting oleh
nanank
TIME
follow
My calender
Pengikut
Blog Archive
-
▼
2011
(59)
-
▼
September
(13)
- KEGUNAAN LAIN LAPTOP.
- ASAL MULA TERBENTUKNYA GENG DI BANDUNG
- Adolf Hitler Meninggal di indonesia ??..
- 6 Film indonesia yang di perankan bintang porno.
- COVER MAJALAH TERBAIK DI DUNIA
- KERJA JADI PENGEMIS BISA BIKIN KAYA..
- 16 Serangga terbesar di dunia.
- CERITA KEANGKERAN TOL CIPULARANG DAN DAFTAR KENDAR...
- SYAIR
- Produk-produk unik.
- Jadwal Pertandingan Pra Piala Dunia 2014 Beriku...
- Cerita Lucu Orang Dewasa
- Cerita lucu sedikit jorok
-
▼
September
(13)
About Me
Pages
Diberdayakan oleh Blogger.
CREATIVE
Aku bukanlah orng hbat,tapi ku mau belajar dari orng-orng yg hbat Aku adlah orng yang biasa tpi ku ingin mnjadi orng yg luar biasa. Dan aku bukanlah orang yg istmewa tpi ku ingin membuat seseorang mnjdi istimewa....
0 komentar:
Posting Komentar